Fitnah itu datang menimpa Edi saat hari yang dinantikannya segera tiba. Sebuah fitnah sekaligus ujian yang terjadi sebagai bentuk takdir Allah untuknya.
Edi hanya berprofesi sebagai penjual parfum di sebuah kios kecil di dekat rumahnya. Dia tipe orang yang pendiam, taat dan senang mendalami ilmu agama. Kesehariannya selalu diisi dengan kesederhanaan serta ketekunan dalam mencari nafkah, terutama dengan niat yang kuat agar bisa membangun pondasi ekonomi yang baik untuk bekalnya saat berumah tangga kelak.
Karena umurnya yang dirasa telah cukup untuk berumah tangga, dia pun coba memberanikan diri untuk berkenalan (ta’aruf) dengan seorang gadis desa. Beruntung, gadis desa tersebut mau, sehingga Edi dan gadis desa itu berencana untuk segera mengatur waktu lamaran dan pernikahan.
Hari yang ditentukan pun tiba. Bersama keluarganya, Edi melamar gadis pujaan hati yang ternyata telah dicintainya itu. Bersamaan dengan momen lamaran, waktu pernikahan pun telah ditentukan pula kapan akan segera dilaksanakan, yaitu beberapa minggu setelah proses lamaran tersebut dilakukan.
Sebagai seorang lelaki, tentu banyak yang harus dilakukan Edi untuk mempersiapkan hajat sebagai penyempurna setengah agamanya itu, menikah, baik dari segi biaya, ilmu, mental, psikologis, maupun berbagai persiapan diri lainnya. Begitu juga dengan gadis yang telah dipersuntingnya, sama-sama mempersiapkan diri untuk hari sakral yang sangat dinantikannya.
Namun sayang, beberapa hari menjelang pernikahannya, Edi mendapat fitnah sekaligus ujian yang terjadi diluar dugaannya. Dia ditangkap polisi dan dipenjara dengan tuduhan telah terlibat dalam tindak pidana terorisme. Suatu fitnah keji yang tidak seharusnya dia terima.
Edi tak bisa berbuat apa-apa. Dia tak kuasa melawan aparat yang menangkapnya. Padahal berbagai hal untuk pernikahannya hampir semua dia lakukan, apapun telah dia kerjakan sebagai persiapannya untuk menikah. Undangan telah beredar, makanan telah dipesan, tempat telah ditentukan, dan pemberitahuan kepada khalayak ramai hal ihwal pernikahannya juga telah disebar. Maka mau tak mau, pernikahan pun harus tetap diselenggarakan. Pihak keluarga coba melobi polisi agar Edi diperkenankan untuk menikah. Namun sayang, polisi belum mengizinkannya, karena kasus yang menimpanya tergolong kasus berat dan sensitif di negeri ini.
Bingung menghantui diri Edi. Satu sisi pernikahan dengan gadis yang dicintainya harus segera dilaksanakan, tapi di sisi lain keadaan memaksa dirinya untuk menunda atau bahkan membatalkan pernikahan yang telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya itu. Sedang untuk menunda atau membatalkan rencana pernikahannya, pihak keluarga sang gadis sepertinya keberatan, karena akan menanggung beban malu bila pembatalan itu benar-benar terjadi.
“Din, mas minta tolong ya sama kamu,” ujar Edi kepada Didin, adik kandungnya dari balik jeruji penjara.
“Minta tolong apa mas?” jawab Didin.
“Kamu gantikan mas menikah ya dengan Karimah. Kamu kan tahu rencanaku menikah dengannya sudah dekat, tapi mungkin Allah berkehendak lain. Kan nggak mungkin pernikahan ini dibatalkan.” terang Edi kembali.
“Tapi mas… Karimah kan calon istri mas, gadis yang mas cintai? Mana mungkin aku mengkhianati mas dengan menikahi gadis yang ada di hati mas? Apalagi usiaku masih muda,” tanya Didin lagi.
“Din, cinta itu milik Allah. Adalah hak Allah untuk memberi atau mencabut cinta yang kita miliki di hati, termasuk cinta yang kurasakan saat ini. Kemarin aku sudah bilang ke Karimah dan orang tuanya, dan dia setuju untuk menikah denganmu sebagai penggantiku. Aku nggak mau mengecewakan keluarga kita dan keluarganya. Toh aku juga nggak tahu bagaimana nasibku selanjutnya, bahkan sampai kapan aku harus mendekap di penjara ini, aku nggak tahu. Tolong ya Din, ini demi kebaikan keluarga kita dan keluarga Karimah.
Kalau memang kalian sama-sama belum saling mencintai, maka nanti dengan kebersamaan kalian setelah menikah, cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Allah yang akan menumbuhkan rasa cinta itu di hati kamu dan Karimah, sehingga kalian bisa saling melengkapi dan mencintai selayaknya suami istri,” tandas Edi berusaha ikhlas dengan apa yang disampaikan pada adiknya itu.
“Mas, aku ini belum mapan. Aku takut mas kalau aku nggak bisa menafkahi dia,” lanjut Didin.
“Kamu jangan khawatir dengan rezeki, kalau kamu nggak mampu, insya Allah, Allah yang akan memampukan kamu. Kalau kamu belum kaya, insya Allah, Allah yang akan mengayakan kamu. Bukankah yang memberi kekayaan dan rezeki setiap makhluk adalah Allah? Dan bukankah juga pernikahan sebagai kunci pembuka pintu rezeki? Din, kita ini hanya manusia biasa yang wajib untuk berusaha dan mencoba. Allah lah yang menentukan segalanya, termasuk rezeki. Mungkin nanti kamu bisa lanjutkan usaha parfum yang mas punya, siapa tahu setelah kamu pegang, usaha parfum itu akan jauh lebih berkembang, dan akan menjadi salah satu sumber rezeki yang Allah berikan untukmu. Ya kan? Jadi, mau ya?” pinta Edi.
“Kalau memang ini permintaan mas dan demi kebaikan kita semua, insya Allah aku mau mas, asalkan mas ikhlas,” jawab Didin tegas.
“Insya Allah,” sahut Edi menimpali jawaban Didin.
Hari yang dinantikan pun tiba, disaksikan dan dihadiri keluarga dari kedua belah pihak, Didin dan Karimah khidmat melangsungkan pernikahan yang diselenggarakan secara sederhana. Tak tampak kemewahan, keceriaan dan hura-hura selayaknya pernikahan pada umumnya, karena keluarga dari mempelai pria masih berbalut duka akibat masalah yang menimpa salah satu anggota keluarga mereka, Edi.
Sedang dari balik jeruji besi penjara, Edi hanya bisa termenung sedih menerima takdir yang dirasanya cukup berat ini. Dia harus mengikhlaskan gadis yang dicintainya untuk menikah dengan Didin, adik kandungnya, dan harus tegar menghadapi fitnah yang dituduhkan kepadanya. Tak jarang, dari balik jeruji besi itu Edi meneteskan air mata ketegarannya, sebagai bukti lemah dan tak berkuasanya dia sebagai manusia yang berjalan di atas takdir Allah, Tuhannya.
Namun, tak lama….
“Saudara Edi, kemari ikut saya!” perintah salah seorang petugas polisi kepadanya.
“Ada apa Pak?” tanya Edi terkejut.
Dengan tangan terborgol Edi menurut dan berjalan bersama seorang petugas yang memerintahkannya tadi menuju ke sebuah ruangan kecil di luar penjara.
“Silakan duduk! Dari hasil pemeriksaan kami, ternyata Anda bersih dan tidak terlibat dalam tindak pidana terorisme. Jadi Anda kami bebaskan. Tapi Anda tetap kami kenakan wajib lapor apabila mengetahui ada gerakan teroris di sekitar Anda,” ujar salah seorang petugas lainnya memberikan penjelasan.
“Apa, saya bebas Pak? alhamdulillaah…baik Pak, baik, insya Allah!” Edi tak kuasa menahan riang dengan apa yang baru didengarnya, seketika Edi langsung tunduk sujud syukur kepada Allah yang telah melepaskannya dari semua kasus ini.
Ya, selang beberapa hari setelah pernikahan Didin dan Karimah, Edi dibebaskan dari penjara serta dari tuduhan yang dikenakan kepadanya. Sebab, dari hasil pemeriksaan intensif yang dilakukan polisi, ternyata Edi terbukti bersih, tidak bersalah dan tidak terlibat dalam tindak pidana terorisme seperti yang dituduhkan selama ini kepadanya.
Edi bersyukur karena kini dia bisa bernafas lega sembari menghirup udara bebas setelah mencium pengapnya ruang dibalik jeruji besi yang ditempatinya belakangan ini. Namun kesedihan masih membekas dari balik lubuk hatinya, karena gadis yang dicintainya tak jadi menikah dengannya. Berat yang Edi rasakan, tapi dia akan berusaha untuk tetap ikhlas dan ridho atas keputusan dan takdir Allah untuknya.
Kini dia hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa jodoh adalah rahasia Allah. Sebagai manusia dia hanya bisa berusaha tapi Allah jualah penentu segalanya. Baginya jodoh akan hadir bilamana waktunya telah tiba meski tanpa diminta, direncana dan diharapkan olehnya, serta jodoh tidak akan hadir bilamana waktunya belum tepat meski berbagai cara telah dilakukan dan diusahakan, karena Allah lebih tahu siapa, kapan dan bagaimana jodoh yang terbaik untuk semua hamba-hambaNya akan dihadirkanNya, termasuk untuk dirinya.
Kalau saatnya belum tepat, mungkinkah matahari akan terbit mencipta fajar? Kalau waktunya belum tiba mungkinkah jodoh akan hadir menemani diri? Tentu tidak, karena jodoh adalah amanah Allah untuk hamba-hambaNya yang layak dan siap dalam mengemban amanah tersebut.
- - - - - - -
dari kutipan diatas, blogger mengambil makna bahwa kita sebagai hamba-Nya yang berjalan dibumi-Nya hanyalah seorang yang lemah yang ditugaskan hanya untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan segala amanat-Nya. mencari jodoh itu memang diwajibkan bagi ikhwan, tapi toh keputusannya balik lagi ke Sang Maha Mengetahui, yaitu ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA dan kita tidak bisa mendahulukan-Nya. tetep semangat mencari tapi jangan lupa berdo'a, InsyaAllah bila sudah saatnya ALLAH akan mengirim hamba-Nya yang shalehah untuk pembaca. Amiin Allahumma Amiin.
- - - - - - -
cerita dikutip dari sini
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar